15 Desember 2008

PAPA by.wulan

Aku tidak benci Papa. Sungguh. Meski kami tidak akrab. Papa seperti orang asing. Ada Papa atau tidak di rumah bagiku sama saja. Bukan berarti Papa tidak penting. Justru Papa lah orang terpenting dalam keluarga. Keluarga ini berdiri tegak karena status kuat yang dibangun Papa. Status yang menjadi obsesi bagi orang ambisius dan mimpi manis bagi kebanyakan orang. Lalu apakah aku bangga ? Yah, jujur kukatakan aku cukup bangga. Bukan karena kekayaan atau status sosial yang tinggi. Tetapi karena Papa adalah pekerja keras. Papa berjuang untuk kehidupan yang layak, hingga keberhasilan itu datang sebagai hadiah. Namun hadiah itu tampaknya terlalu besar. Papa tidak lagi punya waktu untuk keluarga.
Kecilnya perhatian Papa membuat jarak diantara kami. Aku tidak lagi nyaman ada di dekat Papa. Aku sulit bersikap wajar. Rasanya aneh harus bermanis-manis di depan Papa. Aku tahu cara bicaraku tidak enak didengar. Mungkin Papa tersinggung, meskipun tidak pernah sekalipun berkomentar. Namun aku terlanjur terbiasa dengan situasi yang tidak normal ini. Walaupun begitu, kadang-kadang aku suka memperhatikan Papa. Rambut yang mulai memutih, wajah yang terlihat letih, dan mata yang kadang terpejam karena kantuk, membuat simpati yang aneh. Aku merasakan kasih sayang yang tercurah untuk Papa, meski hanya sekejap. Apakah itu aneh ? Entahlah.
Kemudian, Mama merupakan sosok yang ada diantara kami. Mama adalah penyejuk. Jika Papa menjadi pondasi keluarga ini, maka Mama adalah tiangnya. Aku sadar, Mama lah yang paling kesepian dalam situasi ini. Mama adalah tempat mengeluhku. Sedangkan Mama, ke mana harus mengeluh ? Orang tua ? Kakek dan Nenek sudah terlalu tua. Mama tidak ingin membebani mereka dengan masalah. Kalau saudara ? Mama adalah anak tunggal, sama seperti aku. Bagaimana dengan teman atau sahabat ? Mama yang introvert tidak biasa berbagi cerita dengan orang lain. Apalagi yang bisa menimbulkan gosip. Mama sangat menjaga nama baik keluarga ini. Lalu aku ? Mungkin aku lah satu-satunya hiburan Mama. Aku bisa membuat Mama tersenyum, meski dengan lelucon yang tidak lucu. Mama memang tidak sempurna, tetapi beliau adalah my angel.
Namun suatu hari, kulihat Mama menangis. Aku terhenyak. Selama ini Mama tidak pernah menunjukkan emosinya. Mengapa ? Ada apa ?
”Ma,” aku bersimpuh di hadapannya. “Mama kok nangis ?”
Mama tidak menjawab. Mata yang penuh air mata itu hanya menatapku.
”Ada yang jahat sama Mama ya ?”
Mama menggeleng. Aku makin penasaran.
”Lantas apa Ma ?” tanyaku mulai tidak sabar.
Mama menghapus air matanya dengan sapu tangan. Lagi-lagi Mama menatapku tanpa bicara. Tampaknya Mama sulit menjelaskan sesuatu. Aku coba menunggu. Hingga akhirnya, sebuah kata meluncur dari mulut Mama.
”Papa.”
”Papa ?” Kata itu membuatku was-was. Satu pikiran buruk segera terlintas di benakku. ”Apa Papa kasar sama mama ? Kalau begitu kita harus lapor polisi.”
Aku bergegas bangkit, namun Mama menahan tanganku.
”Bukan itu Mia.”
Kutatap Mama dalam-dalam. ”Mama nggak usah bohong.”
”Mama nggak bohong. Tolong dengarkan dulu.” Wajah Mama makin memelas. ”Papa.... Papa sakit Mia.”
Aku terdiam. Papa sakit ? Terkejut, memang kurasakan. Namun aku tidak tahu harus sedih atau tidak. Selama ini Papa sangat sehat, seolah kuman-kuman penyakit enggan mendekatinya. Lalu penyakit apa yang sanggup menumbangkan Papa dan membuat Mama menangis ? Tanpa sadar aku mulai khawatir.
Sejak hari itu, Papa tidak pernah pulang. Papa dirawat di rumah sakit. Semua urusan kantor diserahkan pada Oom Irwan, satu-satunya orang yang dipercaya Papa. Dan aku, butuh waktu dua hari untuk datang ke rumah sakit. Mama tidak pernah memaksaku dan selalu menceritakan perkembangan Papa. Namun langkahku terhenti di depan kamar Papa. Aku bingung. Bagaimana harus menyapanya ? ”Selamat pagi, Pa. Gimana keadaan Papa ?” atau cukup ”Halo Pa, apa kabar ?” Lalu wajah seperti apa yang harus kutunjukkan ? Senyum, atau biasa saja ? Selanjutnya aku harus bagaimana ? Mencium tangan Papa, atau langsung duduk ? Astaga, aku tidak percaya bisa grogi begini. Itu Papa, bukan artis atau pejabat.
”Mia.”
Kurasakan tepukan di bahuku. Aku menoleh.
”Alex.”
Alex. Putra Oom Irwan. Lebih tua tiga tahun dariku. Dia baru saja dilantik menjadi dokter. Saat ini Alex bekerja sebagai asisten dokter di rumah sakit tempat Papa dirawat. Dulu, aku pernah suka padanya. Tidak, sampai sekarang aku masih suka padanya. Namun hanya dalam hati. Aku mundur sebelum berjuang. Ada seseorang yang membuatku mengambil keputusan itu. Saat melihatnya, aku sudah tahu. Dia sangat mencintai Alex. Dia butuh dukungan penuh dari Alex, karena dia adalah pasien pertama Alex. Tetapi, aku mengalah bukan karena kasihan. Aku hanya tidak ingin menghilangkan sebuah harapan. Rasanya, ini keputusan terbaik, meskipun mulai saat ini aku harus belajar meredam debar-debar itu.
”Nggak masuk ?”
Aku menatapnya sejenak, lalu menunduk. ”Iya. Sebentar lagi.”
”Hmm, baiklah. Kalau begitu kutinggal dulu ya.”
”Alex !”
”Ya ?”
”Papa...” Sejenak aku ragu-ragu. ”Papa sakit apa Lex ?”
Alex tersenyum. ”Sayang sekali, aku tidak punya wewenang untuk menjelaskan. Lebih baik kamu tanya Dokter Fajar, dokter yang menangani Papamu. Mau kuantar ?”
Aku mengangguk sambil mencoba tersenyum. ”Boleh.”
Sepanjang jalan, ada banyak hal yang memenuhi pikiranku. Semua tentang Papa. Tentang penyakit misteriusnya. Tentang Mama yang tidak pernah mau menyinggung penyakitnya. Tentang apa yang kira-kira bakal kudengar nanti. Atau apa yang akan terjadi setelah aku tahu penyakit Papa ? Semua itu terus berkecamuk di otakku, bahkan setelah aku berhadapan dengan Dokter Fajar.
”Alzheimer ?”
”Ya, Pak Gunawan positif menderita Alzheimer.”
”Saya belum mengerti. Apa itu Alzheimer Dok ?”
”Alzheimer adalah penurunan fungsi saraf otak yang kompleks dan progresif akibat tumbuhnya sel-sel protein di otak yang membuat sel-sel saraf tidak berfungsi sebagaimana biasa.”
Aku mencoba mencerna maksudnya. ”Pikun maksud Dokter ?”
Dokter Fajar tersenyum. ”Gampangnya bisa dibilang begitu. Tapi ini lebih dari sekedar pikun. Pikun merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang lanjut usia. Sedangkan Alzheimer adalah penyakit. Mula-mula, penderita akan melupakan hal-hal kecil, yang kemudian berkembang menjadi pikun yang parah.”
”Maksud dokter ?”
”Melupakan orang-orang terdekat, termasuk teman dan keluarganya sendiri.”
Aku menelan ludah. Separah itukah penyakit Papa ?
”Penyakit ini memang tidak sepopuler penyakit kanker atau jantung. Tapi bila sudah parah, pasien akan kehilangan kontrol pada semua sistem tubuhnya, termasuk daya tahan terhadap penyakit lain. Dan akibat terburuknya adalah kematian.”
Mendadak aku merinding. ”Tapi ada obatnya kan Dok ?”
”Sayang sekali, sampai sekarang dunia kedokteran belum menemukan obatnya. Obat-obatan hanya berfungsi untuk mengendalikan gejalanya, bukan mengobati.”
”Jadi ayah saya tidak akan sembuh ?”
”Maaf, tapi kami akan berusaha sebaik-baiknya.”
Pikiranku kosong. Aku tidak menyangka akan shock. Ada begitu banyak penyakit di luar sana. Mengapa harus Alzheimer ? Mengapa harus Papa ? Mengapa harus sekarang ? Perasaan miris ini membawaku kembali ke kamar Papa. Kulihat Papa bersandar di ranjang. Duduk diam sambil menatap jendela. Biasanya selalu ada buku atau dokumen di tangannya. Membacanya serius sambil duduk tegak di kursi. Kini aku merasa, Papa terlihat rapuh, kesepian, dan kosong. Melihatnya, entah mengapa, mendadak aku takut. Aku takut Papa akan melupakanku. Melupakan kami semua dan pergi begitu saja. Tidak ! Tidak ! Aku tidak mau ! Rasa yang membuncah ini mendorongku melangkah masuk dengan cepat.
”Papa !” panggilku.
Papa menoleh, namun tidak bereaksi. Aku cemas bukan kepalang. Apakah Papa sudah melupakanku ? Ya Tuhan, jangan sekarang. Jangan Tuhan.
”Mia ?”
Aku termangu. Papa menyebut namaku ! Aku tidak salah dengar kan ?
”Apa...kabar Pa ? Gimana keadaan Papa ?”
”Baik,” Papa tersenyum tipis. ”Tapi...,” mendadak wajah Papa berubah. ”Bukannya hari ini kamu sekolah ?”
Deg ! Rasanya jantung ini berhenti berdetak.
”Jangan-jangan kamu bolos ya ?”
Ya Tuhan, Papa sudah lupa kalau putrinya seorang mahasiswa.
Perjalanan pulang terasa melelahkan. Aku merasa gerah meski AC mobil kunyalakan. Kejadian hari ini membuat pikiranku tegang. Aku ingat Mama. Perlukah kami bicara ? Atau biarkan semua seperti kemarin ? Seolah tidak ada apa-apa. Dan sakitnya Papa hanya halangan biasa. Tetapi, bisakah aku diam ?
Sudah beberapa saat lalu aku sampai di rumah. Namun rasanya enggan masuk ke dalam. Mama pasti ada di sana. Tersenyum seperti biasa. Bersikap seperti hari-hari kemarin. Namun tetap saja ada yang beda. Kasihan Papa kalau begini. Tidak ada yang mau membicarakannya. Untuk apa ? Papa tetap saja sakit. Kami perlu bicara. Ya, kami harus bicara. Aku bergegas masuk rumah.
”Baru pulang Mia ?”
”Iya Ma.” Ternyata Mama sudah ada di meja makan. Menyiapkan piring dan sendok. Sementara hidangan tersedia lengkap di sana. Apakah ini saatnya ?
“Sudah makan ?”
Aku menggeleng. “Belum.” Inilah kesempatannya, yakinku pada diri sendiri.
“Kalau begitu makan sama-sama yuk.”
Jantungku mulai berdebar-debar. Bicara. Ayo bicara. Kata-kata itu seperti berputar di kepalaku. Mengusikku yang sedang menyiapkan diri, hingga aku tidak tahan lagi.
”Ma...”
”Ya ? Kenapa Mia ? Sepertinya kamu agak lain hari ini. Ada masalah ya ?”
”Sebenarnya...,” aku berhenti sejenak. ”Mia sudah tahu penyakit Papa.”
Aku terus menatap Mama. Ingin tahu apa reaksinya. Tetapi Mama tetap datar meski sempat sedikit kaget tadi. ”O ya ?” Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Aku jadi gemas sendiri. Please Mama, katakan sesuatu !
”Apa Papa akan melupakan kita Ma ?” pancingku.
Mama menatapku tajam. Sepertinya ucapanku berhasil menarik perhatiannya. ”Kamu ngomong apa Mia ? Papa nggak mungkin lupa sama kita.”
”Tapi Mama takut kan ? Mama takut Papa akan...”
”Cukup !” bentak Mama. Aku terhenyak. Itu bentakan terkeras Mama selama ini. ”Cukup Mia. Bisakah kita bicara yang baik-baik saja ?”
”Maaf Ma. Mia nggak bermaksud buat Mama sedih. Tapi mulai sekarang, bisa kan Mama bagi beban Mama sedikit ?”
Mama menatapku lembut. Ada seulas senyum tipis di bibirnya. ”Kamu makin dewasa Mia. Terima kasih.”
Mama menggenggam tanganku. Entah mengapa aku merasa Mama ingin menangis. Namun Mama masih saja tersenyum. Jika aku yang ada di posisi Mama, mungkin aku sudah menangis tersedu-sedu. Karena ternyata aku tidak setegar yang kupikirkan.
Sudah hampir sebulan Papa dirawat. Dokter bilang Papa belum boleh meninggalkan rumah sakit. Kondisi penyakit Papa ternyata lebih serius dari perkiraan semula. Akhir-akhir ini Papa sering bingung dan blank tanpa alasan. Namun kami harus optimis. Bagi kami harapan sangat penting, atau semuanya akan sia-sia.
Anehnya, Papa tidak mengeluh atau bertanya macam-macam. Mungkinkah Papa merasakan sesuatu ? Atau jangan-jangan Papa sudah tahu tentang penyakitnya ? Mama pernah melarang dokter memberitahu penyakitnya untuk menjaga kestabilan Papa. Tetapi sampai kapan ? Papa juga berhak tahu apa penyakitnya. Belakangan, Papa sering melamun. Entah apa yang dipikirkannya. Namun terkadang, aku bisa merasakan kegalauannya. Entahlah. Mungkin ini yang disebut kontak batin.
Hari itu Papa terlihat segar. Beliau menyambutku dengan senyuman.
”Pagi Pa.”
”Pagi.”
”Gimana kabar Papa hari ini ?”
”Baik. Rasanya nyaman.”
Aku tersenyum sambil menata bunga di vas. Beberapa buah album foto menarik perhatianku. ”Kok album foto kita ada di sini Pa ?”
“Oh, itu Mama yang bawa.” Papa meraih salah satu album foto itu dan membuka isinya. ”Lihat, Mama sampai menulis nama semua orang yang ada di foto-foto ini. Katanya supaya Papa ingat terus sama mereka. Lucu kan ?”
Papa terkekeh. Aku pun mencoba tersenyum, meski ini bukanlah lelucon. Aku memahami perbuatan Mama. Ini salah satu cara agar Papa tidak melupakan semua, termasuk keberadaan kami sebagai anak dan istrinya. Setiap bicara atau bercanda, Mama tidak pernah lupa menyisipkan cerita tentang kami. Meskipun suatu ketika Papa lupa, Mama kembali mengulangnya. Begitu terus, hingga Mama sering kelelahan.
”Sudah siang Papa. Mia ada kuliah satu jam lagi. Papa nggak pa-pa kan sendiri ?”
”Nggak pa-pa. Pergilah.”
”Mia pamit, Pa.”
”Mia,” aku hampir berbalik ketika Papa memanggilku.
”Ya Pa ?”
Kulihat Papa menghela nafas. ”Sebelum terlambat, Papa ingin katakan ini.”
Aku mengernyit. ”Maksud Papa ?”
Papa malah tersenyum lebar. ”Bukan, bukan apa-apa. Papa senang akhir-akhir ini kita bisa akrab. Tapi Papa minta maaf seandainya cuma ini yang bisa Papa berikan untuk kamu. Nah, ayo sana berangkat. Nanti terlambat.”
Kata-kata Papa mengusik pikiranku. Apa maksud Papa ? Apa ? Setengah kalut, aku sampai pada satu kesimpulan. Papa pasti sudah tahu. Pasti tahu !
Tiba-tiba seseorang menggenggam tanganku. Aku terkejut dan menoleh.
”Hai. Mau minum teh sama-sama ?”
Alex. Dia selalu muncul di saat yang tepat. Kurasa, aku memang butuh seseorang. Setidaknya untuk saat ini. Perlahan aku mengangguk, dan membiarkannya menggandeng tanganku menuju kantin.
“Kamu kelihatan kacau. Gimana kondisi Papamu ?”
”Aku tidak tahu. Papa nggak pernah bilang apa-apa, kecuali baik-baik saja.”
”Itu supaya kamu nggak khawatir.”
Aku menghela nafas. ”Alzheimer benar-benar nggak bisa disembuhkan ya. Data di internet juga bilang begitu. Apa semua penderita Alzheimer tinggal menunggu mati ?”
”Kalau bicara soal mati, semua orang juga akan mati. Tinggal bagaimana cara kita menghargai hidup. Menurutku semua penyakit ada obatnya, termasuk Alzheimer. Hanya saja waktunya belum tiba.”
“Tapi kapan ?”
“Hanya Tuhan yang tahu.”
Aku diam dan mencoba pasrah.
”Alex, kalau waktu Papa tiba, aku harus bagaimana ?”
”Dampingi beliau sampai akhir dan kuatkan hatimu.”
Kutatap Alex. Dampingi sampai akhir dan kuatkan hati. Itu pasti sulit. Meskipun sudah bersiap-siap, bisakah menghadapinya dengan tenang ?
”Oke ?” Alex mengacungkan ibu jarinya.
”Aku mengerti.”
Kuterima itu sebagai nasihat. Kukumpulkan semua semangat yang ada. Membaginya untuk Mama, dan menambahnya untuk Papa. Namun tidak kusangka, saat-saat itu tiba begitu cepat. Suatu sore, Mama menelepon dengan panik.
”Mia, Papa kritis !”
Aku bergegas ke rumah sakit. Ternyata Papa sudah dipindahkan ke ruang ICU. Kulihat Mama menunggu di depan ruang ICU. Kepalanya menunduk, sementara kedua tangannya saling meremas. Perlahan kudekati Mama.
”Ma,” panggilku.
Wajah Mama terangkat. Kedua matanya basah oleh air mata. ”Mia,” ucapnya dengan suara bergetar.
”Apa yang terjadi dengan Papa, Ma ?”
Mama menggelengkan kepala. ”Mama tidak tahu. Tadi, tiba-tiba Papa histeris. Lalu pingsan. Mama....Mama takut sekali Mia.”
”Ssstt...Mama tenang ya.” Kupeluk Mama erat sambil menenangkannya. ”Papa pasti baik-baik saja. Papa kan kuat,” yakinku pada Mama, juga pada diriku sendiri.
Entah sudah berapa lama kami menunggu, ketika dokter Fajar keluar dari ruang ICU. Mama langsung menghadangnya.
”Gimana suami saya Dok ? Dia baik-baik saja kan ? Iya kan Dok ?” cecar Mama.
Dokter Fajar menatap kami. Perasaanku mulai tidak enak saat sang dokter menghela nafas.
”Kami sudah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi saya rasa, kalian harus bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk.”
”Maksud Dokter apa ?!” suara Mama mulai meninggi.
”Maafkan saya, Bu. Kondisi Pak Gunawan sudah melemah. Kesadarannya turun drastis. Kami tidak bisa berbuat banyak. Kemungkinan beliau tidak akan bertahan lama.”
”Tidak mungkin ! Tadi suami saya masih baik-baik saja ! Dokter pasti salah !” Mama mulai histeris.
”Ma....”
”Mia, Papa itu kuat ! Papa nggak mungkin tinggalin kita ! Rumah sakit apa ini ?! Dokternya nggak becus !”
”Mama !!” kucekal lengan Mama dan kutatap matanya lekat-lekat. ”Sudah, Ma. Percuma Mama marah-marah. Papa sedang butuh kita. Mama ngerti kan ?”
Mama terdiam, meskipun isakannya masih tersisa. Pandanganku beralih ke Dokter Fajar.
”Maafkan Mama, Dokter.”
”Tidak apa-apa. Saya mengerti.”
”Terima kasih, Dokter sudah merawat Papa.”
Dokter Fajar tersenyum. Ia menepuk bahuku sekilas sebelum beranjak pergi. Kini kami sendiri. Menemani Papa hingga akhir. Tidak pernah kubayangkan akan melihat sosok Papa yang seperti ini. Lemah dan tak berdaya. Hidupnya harus ditopang oleh rangkaian mesin. Setiap saat, hanya monitor kardiograf itu yang bisa memastikan kalau jantung Papa masih terus berdenyut. Mama terus memandang Papa. Kedua tangannya menggenggam tangan Papa. Mungkin Mama berharap, mata yang terpejam itu akan terbuka, dan mulut yang tertutup itu akan bicara. Sementara aku, kuberanikan diri menggenggam tangan Papa yang satunya lagi. Tangan yang besar itu terasa hangat. Aku tidak ingat kapan terakhir kali pernah menggenggamnya. Pelan-pelan kueratkan genggamanku. Apakah Papa sudah lelah ? Papa tidak kesakitan kan ?
Pandanganku beralih ke mama. Ternyata Mama sedang memperhatikan monitor kardiograf yang memantau denyut jantung Papa. Beberapa saat lalu dokter berkata kalau denyut jantung Papa mulai lemah. Dan kini tampaknya semakin melemah.
”Ma...,” panggilku.
Mama menoleh. Kami bertatapan sejenak. Perlahan Mama mengangguk. Pasrah.
”Papa....Papa boleh pergi. Mama dan Mia sudah ikhlas.”
Sesaat, hanya sekejap, jantung Papa berdetak normal. Setelah itu, Papa menghembuskan nafas terakhirnya dalam damai. Sambil menahan tangis, Mama mencium kening Papa. ”Selamat jalan, Pa,” gumamku sambil mencium tangannya.
Aku sama sekali tidak menangis. Sampai Papa dikuburkan, tidak ada air mata yang keluar. Sampai-sampai Alex berkata padaku, ”Kalau mau menangis, menangislah.” Namun aku tetap tidak menangis. Aku justru sibuk mempersiapkan acara tahlilan nanti malam. Hingga kemudian, aku diminta mengembalikan album foto keluarga ke lemari kamar Papa dan Mama.
Kamar itu tampak sunyi. Foto Papa dan Mama yang tergantung di dinding menarikku untuk mendekat. Papa yang muda dan sehat ada di sana. Aku tersenyum. Samar-samar, aku bahkan bisa mencium aroma Papa. Tiba-tiba aku merasa keberadaannya sangat kuat. Namun sosoknya tidak ada lagi di rumah ini. Aku sedih. Sangat sedih. Dan aku menangis. Menangis sejadi-jadinya, tanpa menyadari kehadiran Alex di sampingku. Aku terkejut saat kepalaku diusap. Aku mendongak. Alex tersenyum lembut padaku. ”Sini,” ucapnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Tanpa pikir panjang aku menghambur dalam pelukannya dan menangis seperti anak kecil.
”Aku sayang sama kamu Mia. Sayaaang banget,” ucapnya. ”Mulai sekarang aku yang akan menjagamu. Oom Gunawan juga pasti setuju.”
Kata-kata itu membuatku hangat. Kupejamkan mataku. Aku masih ingin lebih lama dalam pelukannya. Kubayangkan wajah Papa yang tampak damai di saat terakhirnya.
”Papa, aku pasti merindukanmu,” gumamku dalam hati.


For my dearest father : I love U, Pa